
:::::.....
Kalau ditanya satu hal yang paling mewarnai hubunganku dengan Ibuku selama 31 tahun ini, itu adalah satu kata berikut : KESALAHPAHAMAN! Menyedihkan? Nggak juga. Merepotkan? Kadang-kadang. Tapi yang pasti, menggelikan! :-D
Contoh. Sudah tak terhitung berapa kali kejadian semacam ini terjadi.
Misalnya di sekolah. Momen pengambilan raport. Di kelas yang penuh dengan walimurid itu, Ibuk selalu mendapat pertanyaan dan kernyitan alis yang sama, entah dari ibu si A, atau si B atau yang lain. Sejurus setelah mengenalkan diri sebagai ibukku, pasti yang terjadi ini...
“Ibu ini Ibunya Mbak Wahida??? Yang bener?? Saya kira kakaknya!”
Ketika akhir Oktober 2001 aku melahirkan Abe, di kalangan suster-suster di RS Darmo Surabaya, kami berdua selalu menjadi perbincangan yang hangat. Cerita berawal ketika seorang suster visite ke kamar, dan kemudian mengobrol. Aku rasanya sudah termasuk orang yang cukup suka mengawali obrolan dengan siapapun, entah orang yang sudah lama kenal, maupun tidak. Tapi ibuku, jauh lebih parah. Bakat SKSD-nya waduh! Top! Aku nggak ada apa-apanya deh. Hehehe. Ini salah satu hal yang aku suka pada diri beliau.
“Nungguin terus nih Mbak?” sapa suster ketika masuk kamar...-jangan salah- ke Ibukku. Dia menyapa Ibuk dengan sebutan ‘mbak’.
“Iya nih Suster...untungnya pekerjaan saya bisa ditinggal-tinggal jadi ya bisa nunggui terus”
“Kerja dimana Mbak?”
“Jadi pegawai toko kok Sus, di Tulungagung sana...” (Btw.. Ini salah satu kesukaan Ibuku, mengaku karyawan di tokonya sendiri dan hebatnya dia seringkali membuat orang bener-bener percaya hihihi usil ya? pantesan nurun ke cucunya :-D)
Suster kemudian berpaling ke aku.
“Enak ya, masih ada kakaknya yang bisa menunggui? Kalau saya dulu melahirkan nggak ada yang nungguin Dek, Ibukku sudah tua, kasihan sedangkan saya putri satu-satunya. Jadi ya sudah, nggak ada yang bisa disambati.” Disambati, maksudnya dijadikan teman keluh kesah. (Kupikir-pikir, si suster sok tahu juga ya hihihi)
“Saya juga putri satu-satunya kok Sus. Ini bukan kakak saya, tapi Ibu saya.” jelasku sambil senyum simpul. Ibuku juga cuma tersenyum. Kami sama sekali sudah nggak heran lagi karena kejadian seperti ini sudah jadi santapan kami berdua sehari-hari dari jaman duluuu kala :-D
“Heh??? Yang bener?? Masak sihh??...???” si Suster melongo dan langsung menghentikan pekerjaannya mengganti selang infusku...
Tapi sebentar! Sepertinya ada sesuatu yang masih menggantung di mulutnya...dan matanya yang masih melongo tak percaya...
Ayo suster..jangan kecewakan saya kali ini...ayo keluarkan pertanyaan selanjutnya itu...jangan khawatir atau sungkan, saya sudah biasa kok mendengarnya..ayo...yak yak??
“IBU KANDUNG???”
Horeeee!!! akhirnya si suster pun menyerah juga kepada rasa ingin tahunya! :-D
2,5 tahun kemudian, ketika aku datang lagi dengan Bea siap dilahirkan, ketika suster yang sama masuk, dia langsung mengenaliku.
"Ini kan yang dulu ibuknya saya kira kakaknya?? hahaha Ibuknya nunggui lagi nggak mbak??"
:-D
:::::.....
Walaupun secara sifat aku dan Ibuk mempunyai banyak sekali persamaan, tetapi memang, kalo dilihat secara fisik, kami ini sangat berbeda. Ibuk benar-benar representasi perempuan Jawa pada umumnya. Berkulit kuning langsat, rambut berombak, tubuhnya cukup mungil dan langsing (bahkan cenderung kurus hihi).
Sedangkan aku? Nggak tahu juga bagaimana ceritanya, yang jelas di keluarga besar kami yang Jawa, aku selalu dibilang anak hasil ‘genetic jackpot’ yang beda sendiri. Wajahku memang mirip dengan Bapakku, tapi kulit sawo matang beliau sama sekali nggak menurun ke aku. Kulitku malah sangat terang, bahkan kelak banyak temenku yang keturunan Tionghoa pada protes karena bagaimana bisa aku lebih putih dari mereka??
Sering dikira anak Cina?? Jangan tanya lagi! Aku kecil dulu selalu menangis kalo ada saudara yang bilang kalo aku tertukar di RS waktu lahir. Biasanya aku selalu buru-buru ke Ibuk dan memastikan sekali lagi bahwa aku benar-benar lahir dirumah, bukan di RS. Serasa belum puas, kalo ada Bude Sri (istri Pakde yang bidan dan membantu kelahiranku dulu) pasti aku konfirmasi juga ke beliau. Dengan air mata berlinang karena dikira bayi tertukar. Aku juga seringkali ngambek tiap kali diminta menggantikan Bapak atau Ibuk menunggui toko kami. Pasalnya, tiap ada orang beli lalu membayar ke mejaku, mereka selalu menyapaku dengan “Nonik” atau “Cik”.
Nah, ditambah postur tubuhku yang jelas-jelas ikut Bapak, lumayan tinggi (dan lumayan besar! :-D) makin nyatalah perbedaan fisik antara aku dan Ibuk. Waktu aku masih kecil, seperti juga Bulik2 dan Tante2ku, beberapa kali Ibuk dikira pengasuhku *duh*...
Hal yang sama seringkali juga dialami Bapak dan Ibuk. Ibuk pernah dikira anaknya Bapak. Dia juga pernah dikira istri kedua *hayah, dudul bener* atau istri sambung Bapakku, plus seringkali dikira Ibu tiriku, seperti cerita suster diatas. Lucunya, bukannya sebel Ibukku malah sangat menikmati hal ini. Bahkan dia seringkali sengaja usilin orang dengan tidak cepat-cepat mengaku istri siapa dia sebenarnya. Pernah di suatu acara, waktu Bapak sedang memberikan sambutan, ada seorang ibu tak dikenal, yang berdiri disamping Ibukku ngajak ngerumpi.
“Bu, Pak Badar itu dulu temennya mas ku lho, duhh waktu sekolah dulu nuakalll!! Buandelnya bukan main! Untung katanya dia dapat istri yang anteng, jadi sekarang sudah ikut anteng!”
“Ya tho Bu?”
“Iya, makanya ini aku juga pingin tahu, istrinya ikut apa nggak ya ke acara ini?? Pingin tau aku.”
“Ya tunggu saja Bu, biasanya kan kalo pulang nanti, acara pamit2 si istri kan pasti ikut kliatan...” saran Ibuk.
Nggak tahu lagi deh gimana wajah si Ibuk itu waktu lihat bapak-ibukku pamit dari acara, yang pasti definisinya tentang istri Pak Badar yang dikira ‘anteng’ itu, bisa-bisa berubah total! Hihihihihi.
Yang dudul, Ibuk pernah juga dikira pembantu rumahnya Bapak! hahaha kalo ini sih akibat ulah Ibuk sendiri. Dia paling suka tuh melakukan permainan ini. Permainan yang sungguh sangat aku iri karena dengan penampakanku, aku tak pernah bisa melakukanya! Ugh!
Di rumah kami dulu di Tulungagung, begitu kami (anak-anak) cukup besar, Ibuk memutuskan untuk tidak memakai jasa asisten rumah tangga. Suatu sore ketika Ibuk dan aku sedang berkebun di halaman depan, ada seorang laki-laki datang, mencari Bapak. Sepertinya dari jauh karena selain orangnya asing buat Ibuk, mobilnya juga plat Surabaya. Kebetulan Bapak sedang pergi dengan kedua adik cowokku dan hanya ada Ibuk berdua aku dirumah.
“Pak Badar ada??” dari awal kuakui, gaya bertanyanya memang sudah mengisyaratkan kalau dia mengira Ibuk itu pembantu rumah tangga. Ibuk pun cepat tanggap dan mengikuti irama permainan yang sama (hihi seneng benar dia hari itu, dapat ‘tangkapan’ yang cukup besar hahahah).
“Bapak nggak ada, sedang pergi, Pak” dengan sikap sesantun-santunnya Ibuk menjawab (sambil memegang sapu lagi!)
“Kapan pulang??”
“Wah saya nggak tau...”
Si tamu, ganti melayangkan pandangan kepadaku yang sedang mengerjakan PR di teras.
“Kalo Istrinya??......Itu?? Apanya Pak Badar??” tanyanya sambil menunjuk kearahku.
“Itu putrinya Pak.”
Cukup. Pertanyaan tentang ‘istri Pak Badar’ nggak dijawabnya (belakangan dia beralasan “Habis nanyanya nggak jelas juga, coba kalau dia tanya ‘istri pak badar adaa??’ gitu ya aku bilang ‘ada’!” huahauhuaua dudul)
Si bapak itu kemudian pamit setelah nitip pesan dengan nada yang khas.
“Bilang Bapak ya, saya dari pabrik lem di Surabaya, besok saya kesini lagi pagi-pagi”
“Iya...” jawab Ibuk santun. :-D
Hihihihi
Urusan usil jugalah yang sampe sekarang membuat Abe dan Bea sangat kagum kepada Ibuku. Aku yakin dalam hati mereka merasa beruntung punya Uti yang usil dan berjiwa anak-anak begini ya, hehehehe.
:::::.....
Kesalahpahaman-kesalahpahaman yang menggelikan itu, tentu saja hanya terjadi secara fisik. Deep down under, kita berdua sangat cocok, sangat dekat, sangat banyak sifat yang sama. Biar kata dari luar kami sangat berbeda, tapi didalam kami sangat kompak bak dua sahabat dekat teman curhat tentang apapun, bahkan sampai sekarang.
Ibuk yang lulusan SMKK (Sekolah Menengah Ketrampilan Keluarga) lah yang mengajariku semua hal tentang menjadi seorang wanita yang wajib terampil mengerjakan semua pekerjaan domestik. Dari mengajari urusan memasak dll sampai menyulam, menjahit, dan merawat serta mendidik anak. Selain itu, Ibuk juga menunjukkan dengan contoh langsung, bagaimana dia sebagai seorang istri sangat mendukung Bapak dalam menjalankan usaha. Menjalani hidup dengan tetap sederhana, baik ketika usaha Bapak baru mulai dan eknomi keluarga masih sangat susah, maupun ketika Bapak sudah berhasil. Tetap tak mau membiasakan anak-anak dengan gelimang uang. Tetap mengajak anak-anak untuk bergaul dengan siapapun.
Beda umur kami yang cuma 18 tahun, membuat gap generasi diantara kami menjadi tidak jauh. Ketika aku remaja, Ibuk masih bisa mengikuti jalan pikiranku yang sedang puber waktu itu. Sampai urusan kompakan ‘mengatasi’ cowok-cowok yang suka dudul datang kerumahpun, Ibuk jagonya! Dan guess what, Ibuku jugalah tentu, yang menginspirasiku dari kecil, untuk bercita-cita menikah di usia muda! :-)
Buk’e...
I just love you to bits!
Robbigh firli wali wali dayya warhamhuma kamaa robbayaani soghiroo...

(keterangan foto : ki-ka : Emi iparku, Ibuk dan aku)