Tetapi bahkan akupun melongo ketika suami pertama kali mengajak aku berkunjung ke rumahnya di perkampungan lama di daerah Bluru-Sidoarjo, empat tahun silam. Area yang benar-benar privat untuk keluarganya mungkin hanya seluas tipe 36. Itupun dengan keadaan yang penuh! Separuh dari yang tipe 36 itu habis untuk tempat praktek dan sekolah bidan milik si istri. Sisanya penuh kertas sana-sini, brosur, kopian reso buletin bulanan, plus barang-barang lain yang pasti sama sekali bukan barang pribadi. Kami pun waktu itu hanya diterima di teras depannya, dengan kursi plastik dan meja kayu yang juga penuh dengan brosur siap sebar.
Begitu diajak masuk kedalam dan keluar lagi dari pintu samping menuju bangunan dibelakang rumahnya, aku lebih melongo lagi!
“Yang tadi itu cuma tempat tidur kami, mbak, jadi nggak perlu besar2 wong cuma buat tidur saja kok. Nah..ini rumah kami sebenarnya, tempat kami hidup sehari-harinya, anak-anakku juga lebih sering tidur disini daripada di rumah depan kok,” katanya sambil tersenyum seperti mengerti arti melongonya aku waktu itu. “Kamu bukan yang pertama melongo waktu datang kesini, Nduk,” sahut suami.
Yang terpapar didepan mataku adalah ruangan seluas atrium di mall-mall. Didalam gedung yang –demi Allah- dari jalan depan sama sekali nyaris terlihat seperti sebuah sekolah biasa. Di pinggir kanan kiri penuh dengan kamar2 dengan tempat tidur bertingkat. Waktu itu sepi karena memang sedang pagi jam sekolah. Tetapi melihat barang-barang yang menumpuk disitu, pasti penghuni bangunan ini tak akan kurang dari 50 orang! “Semuanya sekarang sekitar 75-an anak, Mbak..” Segala benda menumpuk di ruang tengah itu, dari meja kecil untuk baca Al-Qur’an yang jumlahnya puluhan, buku-buku, meja kursi sampai meja pingopong di sudut ruangan.
Sekali lagi aku cuma bisa melongo... Teringat lagi cerita yang kudengar sebelumnya bahwa Ibunya sendiri yang masih memasakkan anak-anak ini, setiap hari! Mereka tidak punya pembantu ataupun tukang masak khusus, si istri ketika sedang tidak mengajar atau praktek, seringkali masih bantu-bantu. Selebihnya, anak-anak asrama yang semuanya laki-laki inilah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, dari bantu memasak sampai membetulkan genteng ketika ada bocor.
Sebentar acara tour yang mencengangkan ini terputus ketika ada seseorang datang mengantarkan beberapa karung barang. Kiriman beras, katanya. “Dari salah satu kakaknya anak-anak yang sekarang sudah mentas, Mbak, dia sekarang punya usaha selipan padi di Gresik”
Tambah melongo lah aku! Ngiler yang tak tertahankan lagi! Subhanalloh...
Terbayang lagi rumah depan yang mungil dan sesak (sedih membayangkan bahwa aku mungkin tak akan tahan tinggal di tempat seperti ini). Terbayang lagi penampilan istrinya yang tak beda dengan ibu-ibu desa disekitarnya. Terbayang lagi bagaimana si Ibu yang walaupun sudah sepuh tetapi sangat giras masih memasakkan makanan 75-orang lebih setiap harinya! Dan aku masih mengira Ibukku paling luar biasa karena beliau bisa telaten mengurusi makan 40-an orang setiap hari dengan dibantu 2 juru masak di keluarga kami. Sepulangnya suami cerita, masih nggak terhitung anak-anak yatim yang nggak tinggal di asrama, yang diopeni sama si bapak yang humoris itu. Juga tentang tanah sebelah rumah yang rencananya mau dibeli juga, untuk dibangung masjid.
Subhanalloh...hari itu aku benar-benar menemukan makna baru dari apa yang disebut keikhlasan...!
*****
“Harta yang sesungguh-sungguhnya kita miliki bukanlah apa yang kita dapatkan, tetapi justru adalah yang telah kita keluarkan di jalan Allah”
ternyata sebuah rumah panti asuhan ya? di depan g disebut kyk gitu, jd bingung liat kok bs ada segitu byk anak...
ReplyDeletesama sekali nggak! sekedar papan nama pun nggak! kata si empunya, dia "hanya" berniat ngopeni semampu dia bisa, jadi ya nggak perlu papan nama segala...tetapi menurutku justru yang kaya gini yang insyaalloh jadi lebih terjaga keikhlasannya kan?...(subhanalloh)
ReplyDelete*geleng2*
ReplyDeleteiya..
subhanallah...
ough... iyach... keikhlasan
ReplyDeleteck... ck... ck...
ReplyDelete*** cuman bisa ikutan melongo ***
Subhanallah Mbak... Yang begitu insyaAllah ikhlas dan bakal mendapat barakah dari Allah... Sampai yang sudah mentas pun peduli dengan adik-adiknya!
ReplyDeleteiyach...itu :-)
ReplyDeleteawas jangan ampe ngiler :-b
ReplyDeletetujuannya memang itu, bahwa ketika mentas anak-anak itu sudah bisa berwirausaha sendiri :-)
ReplyDeletembrebes mili mbak....
ReplyDeletemonggo mas... *sambil nyodorin tisu ke mas Yudi* :-)
ReplyDeletememang keikhlasan itu harus butuh pengorbananan yang besar ya mba.
ReplyDeleteTFS yah
iya...sama2 La... :-)
ReplyDeleteTEEEEENGGGGG.....*bel di otak berbunyi lagi*
ReplyDeletemakasih udah cerita ttg ini, mbrebes mili nih mbacanya...maluuuuu....
Ternyata di jaman sekarang masih ada orang yg baik hati..............
ReplyDeletesampe sekarang tiap kali main kerumah beliau aku juga selalu didera malu yang amat sangat Mbak Wiwie...
ReplyDeletethey're such in a different level with me already...:-(
kalo kita menajamkan mata dan pikiran kita di sekitar sebenarnya masih banyak mbak, saya pernah lho suatu hari terpaksa ngeban di tengah jalanan, ditolong bapak2 tukang becak. waktu selesai dia menolak keras ketika akan kuberi uang, apa katanya coba?
ReplyDelete"hasil saya sepagian ini sudah cukup untuk makan kok Buk, sekarang ini saya mau pahalanya saja, jadi kalo Ibu mau menolong saya, biarkanlah ini jadi amal ibadah saya" masyaallohh.... apa saya nggak malu coba, karena sebelumnya saya sudah terlanjur merasa biasa dengan pertolongannya "ah, ntar aku kasih aja dia uang" begitu pikirku...duhhh semoga Allah senantiasa melindungi si Bapak itu dan keluarganya, aku masih suka mbrebes mili kalo ingat kejadian itu... :-(
amiiin....
ReplyDeletebaik banget sih tu bapak?
(btw, mbrebes mili tuh apa? ^_^; )
jadi ingat episode bintang tamu Aa Gym.beliau mengakui adiknya yang cacat itu merupakan sumber inspirasinya dan menjadikan dirinya seperti sekarang ini.
ReplyDeleteAdiknya yang sudah lumpuh waktu itu tetap bertekad melanjutkan kuliah ke fakultas ekonomi Universitas Indonesia. Padahal untuk ke kuliah dan beraktivitas, Agung, sang adik, harus dibopong. Aa Gym sebagai kakak termasuk yang paling sering membopong adiknya ke tempat kuliah.
Suatu hari, Aa Gym tak kuasa untuk melemparkan pertanyaan kepada Agung. ''Dik, kata dokter sakitmu sudah parah sekali. Tapi adik kok tidak pernah mengeluh?'' Sang adik tersenyum lalu menjawab, ''Untuk apa mengeluh? Mengeluh akan membuat orang lain susah. Kalau orang-orang beramal untuk bekal di surga nanti, saya ingin agar kesabaran saya ini bisa menjadi bekal nanti.''==>> seperti bapak tukang becak yang mbak ceritakan...mulia sekali mereka....:-)
Bahkan Agung pernah mengatakan apa pun yang dilakukan Aa Gym tidak akan sempurna jika tidak mengikuti jejak Nabi Muhammad.
maaph kalo gak nyambung...tp waktu baca cerita mbak jd inget kisah ini...:D
mbak wahida ... koq tulisannya ora katon mba ....
ReplyDeletetp koq yang lain bisa baca yaaa ...
iya, dia bener2 bikin aku melongo, bahkan ketika aku tanya dimana rumahnya, dia tahu lho maksudku apa, dengan senyum penuh arti dia bilang gini : "bener bu, nggak usah, saya ikhlas, biar ini jadi amal ibadah saya" duuhhhhh :((
ReplyDeletembrebes mili itu artinya menitikkan air mata :-)
iya, dia bener2 bikin aku melongo, bahkan ketika aku tanya dimana rumahnya, dia tahu lho maksudku apa, dengan senyum penuh arti dia bilang gini : "bener bu, nggak usah, saya ikhlas, biar ini jadi amal ibadah saya" duuhhhhh :((
ReplyDeletembrebes mili itu artinya menitikkan air mata :-)
nyambung2 aja kok Tya, orang-orang ini memang punya cerita hidup yang luar biasa untuk diambil hikmah dan pelajaran, thx ya *hug*
ReplyDeleteaduh kenapa ya Hen??
ReplyDeletesebagai amatiran, saran saya cuma satu : silahkan coba kembali (hiksssss) :-(
kok merinding, ya....
ReplyDeletewah...kok merinding sih? :-)
ReplyDelete