Wednesday, December 30, 2009

Kisah Bu Ani Yang Malang...

Oke. Demi menumbuhkan kembali mood menulis yang dudul hampir setahun ini, maka harus sedikit memaksa diri sendiri nulis deh. Hmm…ngomongin apa ya enaknya kali ini?

Oya, kemarin lihat di TV, di Sumatera (lupa tepatnya dimana) ada lagi berita seorang ibu yang membantai anaknya sendiri. Astaghfirullah. Dari kelima anaknya, 3 diantaranya (umur 10, 8, dan 3 tahun) meninggal diujung tebasan kapak membabibuta ibu kandung sendiri. Dua anak lainnya (umur 7 dan 5 tahun) menderita banyak luka parah di sekujur tubuhnya. Konon si ibu mengalami histeria karena suaminya yang sedang merantau memutuskan untuk mengajak 5 anaknya ke perantauan dan meninggalkan sang istri sendiri di kampung halaman.

Sekali lagi sekujur tubuhku mengejang ngeri. Siapa yang tidak??

Masih miris ngeri, ingatanku langsung melayang ke sebuah cerita yang disampaikan trainer parenting Bpk. Faudzil Adhim. Kira-kira setahun lalu, di ruangan Parenting Skill Class (PSC) Sekolah Al Hikmah, Pak Faudzil membuat semua walimurid yang hadir mengikuti pelatihan, bergidik ngeri dan hampir semua mengucurkan air mata.

Cerita itu tentang Ani Komariah Sriwijaya, seorang ibu rumah tangga asli Boyolali tapi tinggal di bandung, lulusan ITB, yang pada 2006 lalu menggegerkan masyarakat karena membunuh ketiga anaknya yang masih kecil dengan cara membekap mereka dengan bantal sampai meninggal. Mungkin masih banyak yang ingat kasusnya. Banyak yang mengira bahwa alasan pembunuhan itu adalah karena Bu Ani depresi memikirkan masalah ekonomi dan mengkhawatirkan masa depan anaknya yang suram. Bu Ani kemudian diputus bebas oleh pengadilan dan diperintahkan untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Pak Faudzil Adhim kebetulan tergabung didalam tim psikologi yang memeriksa kondisi kejiwaan Bu Ani waktu itu, dan cerita latar belakang kenapa Bu Ani memutuskan untuk mengakhiri hidup anak2nya inilah yang mengundang kucuran airmata dan menegakkan bulu roma kami semua yang mendengarnya.

Bu Ani sendiri, boleh dibilang adalah potret sempurna dari keberadaan seorang anak. Dari kecil sampai lulus ITB, prestasi akademiknya selalu cemerlang. Pengalaman sosialnya juga bagus. Intinya, dari luar dia merupakan anak yang diidam-idamkan semua orangtua, titik. Ketika kemudian menikah dan menjadi seorang ibu, dia juga tidak beda dengan ibu-ibu lainnya yang sangat menyayangi anak-anaknya, segenap jiwa dan raga. Lantas kenapa dia sampai memutuskan mengakhiri hidup anak-anaknya sendiri?? Sebelum mengungkapkan alasan yang berhasil digali oleh tim psikologi yang memeriksanya, Pak Faudzil menggambarkan suasana siang itu, ketika Bu Ani melaksanakan niat yang sudah bulat diambilnya sejak beberapa waktu sebelumnya.

Siang itu si anak sulung Nadhif (6 tahun) baru pulang sekolah. Mungkin sekitar dhuhur, ketika sehabis sholat Bu Ani menyambut kedatangan si sulung dengan senyum dan pelukan sayang seperti biasa. Kemudian disiapkannya makan siang untuk Nadhif, ditemaninya si sulung makan siang bersama adiknya Faras (3 tahun, si anak tengah) . Si bungsu Umar (9 bulan) saat itu sedang tidur siang.

Sepanjang makan siang itu, Bu Ani lebih banyak mengelus rambut anak2 dan menciumi kepala mereka daripada hari-hari yang lain. Setelah selesai disuruhnya Nadhif dan Faras mandi. Sehabis mandi, mereka diberi pakaian yang nyaman dan dibedak seluruh tubuhnya sampai harum. Bu Ani kemudian menyuruh si sulung bermain di ruangan lain sementara dia mengantar si tengah tidur siang di kamar. (Aku tidak yakin yang mana diantara mereka yang lebih dulu diminta untuk tidur siang, tetapi kurang lebih begitu kejadiannya, satu anak diantar tidur siang dan yang lain bermain di luar kamar).

Bu Ani tak lupa mengajak si anak membaca doa sebelum tidur, bahkan dengan lembut menyanyikan beberapa lagu pengantar tidur yang diminta anaknya. Ketika kemudian dia yakin bahwa si anak sudah tertidur pulas, diambilnya bantal dan ditangkupkannya ke wajah anaknya tersebut….kuat-kuat….lama…
.cukup lama sampai nafas si anak berhenti…

Kemudian Bu Ani memanggil si anak lain yang sedang bermain di luar kamar. “Ayo, temani saudaramu tidur siang nak…” Dengan kelembutan dan kasih sayang yang sama diantarkannya si kecil ke hangatnya tidur siang dan mimpi yang indah… Dan Bu Ani sekali lagi mengambil bantal untuk ditangkupkan ke wajah si kecil… Si kecil pun kembali meregang nyawa tepat disamping saudara yang tanpa sepengetahuannya sudah lebih dulu meninggalkannya.

Dan terakhir, si bungsu Umar, yang masih bayi dan terlelap tidur pun, kemudian menyusul kedua kakaknya…meregang nyawa didalam pelukan Bu Ani…

***

Kisah diatas sangat mengerikan buat kita semua, tentu saja… Tetapi kalau ada yang lebih mengerikan adalah alasan Bu Ani melakukannya. Kalau melihat latar belakang pendidikannya, tentu hal seperti ini kurang masuk akal. Seharusnya Bu Ani sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, lebih bisa mengatasi tekanan mental maupun emosi didalam dirinya. Tetapi apa yang dialaminya (seperti yang diceritakan oleh Pak Fauzdil di PSC) ternyata memang sangat besar, jauh lebih besar daripada yang kami semua kira.
Setelah melewati penggalian yang lama dan dalam oleh tim psikologi, terungkap alasan sebenarnya dibalik keputusan Bu Ani…

Ani Komariah, dari luar memang potret anak yang sempurna. Tetapi sangat ironis dan dramatis, kecemerlangan dirinya dihadapan semua orang, ternyata tidak bisa dilihat oleh si Ani terpancar keluar dari mata ibu kandungnya sendiri. Ibunda dari Ani, diceritakan tidak pernah merasa puas dengan apapun yang dicapai oleh putrinya. Dan sang Ibu adalah tipe wanita yang SANGAT PENGOMEL!! Sekeras apapun Ani berusaha memberikan yang terbaik dalam hidupnya, tetap saja yang dia dapat ketika pulang adalah omelan tidak puas dari ibunya. Sebanyak apapun nilai A yang dia dapat, begitu berhadapan dengan ibunya langsung menjadi tidak berarti karena akan selalu dibandingkan dengan prestasi teman lain yang nilai A nya lebih banyak. Setinggi apapun prestasi yang dicapai Ani, yang dilihat sang Ibu adalah orang lain yang berprestasi lebih tinggi lagi. Omelan demi omelan tanda ketidakpuasan, sepertinya hanya itu yang Ani dapat selama dia tumbuh dewasa. Dan itu merupakan sebuah luka yang besar yang kemudian berurat akar dalam dirinya.

Ketika Ani menikah serta melahirkan ketiga anak-anaknya, omelan-omalen tak puas dari sang ibu bahkan sama sekali bukanlah yang terburuk yang bisa terjadi…

Selama mendidik putra-putrinya, pelan-pelan Ani belajar dan menyadari bahwa kebiasaan ibunya mendidik dia dulu, tanpa sadar seringkali dilakukannya pada anak-anaknya. Sekeras apapun niatnya untuk bertekad tidak mau meniru cara mendidik ibunya yang penuh omelan tak puas itu, tetapi sesering itu juga tanpa disadarinya, itu terjadi… Anaknya tumbuh dengan omelan yang (walaupun tidak sebanyak dirinya, tetapi) mirip dengan yang selalu diterimanya dulu dari sang ibu…

Ani kemudian belajar dan menemukan bahwa luka yang ditorehkan sang ibu didalam hidupnya, tak mungkin terhapuskan… Lebih buruk lagi, kemudian dia memutuskan bahwa luka itu menular, menurun dan melukai anak-anaknya juga… Luka yang kali ini dia timbulkan sendiri…. Dia torehkan tanpa sadar kedalam hidup anak-anak yang dicintainya… Luka yang menyebar dengan kuat, bahkan tekad bulatnya yang kuat untuk menjadi ibu yang baik pun, tak kuasa menghentikannya…

Sebagai seorang ibu, Ani merasa bahwa dia adalah ibu yang sudah terlanjur terlaknat. Terlaknat oleh luka dan kebiasaan buruk tak tersembuhkan yang sudah kadung ditorehkan ibunya dulu. Dan lebih buruk lagi, sekarang, tanpa dia sadari dan bisa hentikan, dia akan mencetak 3 calon orangtua yang terlaknat juga, yaitu anak-anaknya. Ani merasa nanti ketika anak2nya sudah menjadi orangtua, tanpa sadar mereka pasti akan mewarisi caranya memperlakukan anak-anak, sekeras apapun mereka mungkin akan mencoba menghentikannya.

Tak terbayangkan oleh Ani nasib cucu dan keturunannya, kalau luka ini akan terus menjalar turun kepada keturunannya. Kalau omelan-omelan jahanam itu akan terus menelan korban, melukai hidup banyak orang karena tidak bisa dihentikan penularannya. Melukai banyak orang yang kemudian hanya akan berakhir sama, menjadi penyebar dan pembawa kebiasaan terkutuk itu…

Konon, Bu Ani masih mengakui betapa cintanya dia pada sang bunda… Tetapi pada akhirnya, sebagai seorang ibu yang juga sangat mencintai Nadhif, Faras dan Umar, Bu Ani memutuskan bahwa dia tidak sanggup lagi mencintai anak-anaknya… Tidak dengan cara seperti itu…

***

Aku tidak tahu dengan Anda pembaca sekalian, tetapi aku pribadi sering sekali merasa, ketika memperlakukan anak-anak, aku sering merasa takjub. Takjub karena ternyata dalam beberapa hal, caraku memperlakukan anak-anak mirip bahkan persis dengan perlakuan orangtuaku ketika aku kecil. Dan anehnya, perasaan takjub ini biasanya muncul justru ketika aku SUDAH SELESAI melakukannya. Itu artinya memang perlakuan itu tadi kulakukan TANPA KUSADARI sebelumnya. Keputusan memperlakukan anak-anak seperti itu, seperti sudah otomatis termainkan dalam otakku, programnya seperti sudah terinstall sejak dulu, di detik yang sama ketika orangtuaku memperlakukannya kepadaku.

Ya Allah pemilik hatiku… Aku mohon kepadaMu…

Tuntunlah aku, lindungilah aku supaya aku hanya mewariskan segala sesuatu yang Engkau sukai kepada anak cucu dan segenap keturunanku… *aminnn* T_T

Tentu aku tak bisa berhenti bersyukur bahwa Allah telah memilihkan untukku orangtua sebaik dan sehangat penuh cinta seperti Kakung dan Uti… Aku akan menjadi saksi dihadapan Allah, mereka yang terbaik! *hiksss jadi pengen banget peluk ibuk sekarang….T_T*

Tapi pada akhirnya, sedikit banyak, aku pun jadi bisa memahami perasaan Bu Ani…

Bu Ani yang malang… :-(

:::::.....

Monday, December 28, 2009

GOYOR:::...

*kangen nulis hiks*

Ada yang suka memperhatikan nggak, karakter2 seperti tokoh Susan Meyer di serial Desperate Housewife? Atau mungkin yang lagi ngetrend sekarang, tokoh Bella Swan di novel Twilight Saga? Atau kalau dalam komik kita bisa lihat contoh Naruto atau Donald Duck?? Atau karakter Launchpad di serial Ducktales, si pilot yang sangat menyenangkan, tapi ironisnya selalu nyaris menghancurkan pesawatnya sendiri tiap kali mendarat?

Goyor, kalo kata bahasa Jawa. Kata itu dipakai untuk menjelaskan seseorang yang dalam aktivitas sehari-harinya gampang terjatuh dan menjatuhkan sesuatu (jatuh dalam arti yang sebenarnya). Mereka yang seakan merupakan magnet yang mengundang bencana dan kecelakaan kecil bagi tubuh mereka sendiri. Tak perlu ada angin sedikitpun, mereka bakalan jalan dengan tersandung-sandung, bergerak gedubrakan, tersenggol dan menumpahkan gelas minuman orang lain di meja sebelah, kejedug apapun yang ada disekitar, terperosok lubang apapun bahkan yang jelas kelihatan, dan sebagainya.

Entahlah, aku belum sempat pernah secara khusus mencari informasi yang lebih ilmiah mengenai penyebab hal ini, mengenai apa yang sebenarnya salah di otak mereka (padahal hampir setiap waktu aku penasaran), tetapi yang jelas...aku begitu! Dan menurut ibukku, ini sudah berlangsung sejak aku kecil. Dan serasa belum cukup, hal inipun ternyata (entah secara apa) kuturunkan pada anakku. Dua-duanya lagi. *sigh*

Praktis, di keluarga kecil kami hanya Mas Iwan seorang yang bakalan bisa lulus pelajaran table manner atau berjalan mulus tanpa terjatuh di catwalk (walaupun aku sama sekali nggak bisa membayangkan, MI jalan di catwalk??? :o)

Dari sejak Abe dan Bea mulai bisa mengangkat kepala mereka (apalagi pas mulai berjalan), aku sudah mulai sadar dan belajar bahwa mengucapkan kata "pelan" dan "hati-hati" mungkin tidak banyak membantu. Jadi biarpun aku tak pernah bosan mengucapkan kata itu (bagaimanapun itu kewajiban kita sebagai ortu kan?), tapi aku tidak terlalu berharap akan hasilnya.

Alih-alih, daripada "mengomeli kenapa jalan mereka gedubrakan" ketika mereka jatuh dan terluka, aku lebih memilih untuk mengkondisikan mereka agar terbiasa dan kuat menghadapi aneka rupa luka, memar dan benjol di tubuh mereka. Sekarang ini, sambil masih nangis kesakitan Bea bisa loh terkekeh-kekeh melihat betapa lucunya dia kalau lagi benjol. Atau betapa serunya kita sekeluarga lomba "banyak2an luka" tiap pulang outbond.

Jangan tanyakan kepada kami kenapa ini bisa terjadi, karena kami pasti sama tidak tahunya dengan Anda. Kalau suatu saat terdengar suara kami mengaduh lalu ada yang tanya "Ya ampunnn gimana critanya sih tadi bisa kayak gini???" maka kami hanya akan bisa meringis menahan sakit sambil mengangkat bahu.

Siapa yang paling jadi korban dari kondisi kami yang seperti ini? Tentu orang-orang yang berada di sekitar kami, karena toh kami sudah terbiasa dengan bentuk kekacauan apapun yang mungkin bisa terjadi.

Jadi ingat ketika aku menceritakan kejadian suatu siang di mall, di status Facebookku. Waktu itu aku sedang dadagh-dadagh meninggalkan Bea di tempat bermain sambil pesan "Bea, hati-hati yaaa!!" tetapi setengah detik kemudian, ketika aku berganti arah, kepalaku langsung disambut tiang beton dengan suksesnya didepan banyak orang yang menonton. Waktu itu banyak yang komen, merasa kasihan pada Bea karena malu punya ibuk yang seceroboh itu. Percayalah, Bea tak punya alasan apapun untuk malu, karena kondisi kami tidak jauh berbeda *hihihihihi* dan rasanya kami harus terbiasa dengan tatapan orang-orang yang harus nya bisa bikin kami malu hati. Percuma, daripada kami tersiksa karena seringnya itu terjadi, akhirnya kami memilih untuk menganggap tatapan2 itu sebagai pujian saja *wakakakakakakak gubraxx*.

Mas Iwan tentu salah satu yang sering jadi korban. Sudah tak terhitung kerugian yang dideritanya karena punya anak-istri seperti kami. Beberapa kali hidungnya nyaris patah karena beradu dengan dengkulnya Abe atau tungkai kaki Bea yang moleh dan montok itu. Atau rasa malu dan sungkan pada tuan rumah ketika mengajak kami bertamu dan ada saja kekacauan yang terjadi. Atau segala rupa bentuk kecelakaan yang terjadi ketika MI sedang berduaan dengan istrinya (termasuk ketika di peraduan tentu saja, tanpa terkecuali *malu*). Keluarga besar dan teman-teman kamipun rasanya sudah nggak heran kalau tiba-tiba harus mendengar bunyi krompyangan atau gedebrukan ketika berada didekat kami.

Mau cerita lain?

Sebagai seorang suami, tentu saja MI pingin dong sekali-kali (atau selalu) jalan-jalan dengan bergandeng tangan atau merangkul pundak istri tercinta? Tapi sampai detik ini, sampai kami nyaris 14 tahun menikah, setiap kali MI berniat nekad melakukannya, pada akhirnya dia selalu menyerah dan memilih untuk melepaskan tanganku atau pundakku di menit pertama.

Pernah sih beberapa kali (saking kasihannya liat nasib MI) aku bertekad akan mempertahankan tangan MI di pundakku ketika jalan di sebuah mall yang kebetulan rame pengunjung. Tapi beberapa jurus kemudian (setelah perjuangan yang luar biasa dariku) dunia tiba-tiba mengkhianatiku dan kehilangan keseimbangannya. Aku sih tidak mempermasalahkan betapa anehnya cara jalanku saat itu, aku sudah tahan malu. Atau fakta bahwa beberapa detik sekali aku tersandung-sandung kakiku sendiri (padahal aku sudah bersandal jepit kemana-mana). Tetapi karena aku beberapa kali sukses menabrak orang yang berjalan bersimpangan dengan kami lah (padahal mereka tidak berada di jalur yang persis lurus dengan kami), akhirnya MI pun terpaksa kembali memutuskan untuk menyerah pada nasibnya....

:D

:::::.....