Hemm... Lama juga nggak ngeNOTE ya, mumpung lagi manyun di parkiran nunggu Carrefour buka, ketik bentar ahh...
Barusan, geli juga baca status FB nya Mbak Niar soal Ubay putra bungsunya.
"Ubay cs TK B kmrn disetrap ustadzah krn bercanda melulu wkt doa n sholat,di rmh dia cerita sambil ketawa2...katanya lucu,seru disuruh berdiri lama gayanya macem2 kyk patung. Masyaallah trnyata dia g ngeh kl itu sanksi...efektif g sih...?"
Hihihihi.... Anak-anak jaman sekarang... Kenapa aku geli, karena hal yang sama juga sering terjadi sama anak-anakku sendiri.
Bu Ina, guru Abe di TK bercerita setelah Abe membuat kehebohan. Suatu hari Abe tidak tertib ketika berdoa menjelang pulang sekolahd. Bukannya ikut melafalkan doa, dia malah sibuk ngobrol sendiri. Bukan mengajak ngobrol temannya loh, tapi benar-benar ngobrol sama dirinya sendiri. Abe memang suka sekali melakukannya, bahkan sampai sekarang walaupun sudah kelas 4 SD. Setelah berkali-kali diingatkan dan tidak jua kunjung tertib berdoa, akhirnya Bu Ina mendekati Abe.
"Abe, ada gak ya caranya supaya Abe bisa berhenti ngobrol sebentaaaaaar saja, lalu ikut berdoa? Kan sekarang bukan waktrunya mengobrol sendiri?", tanya Bu Ina dengan sabar.
"Ada! Mulutnya Abe ditutup pake selotip saja Bu Ina!", jawab Abe (herannya) dengan antusias! Bu Ina sempat kaget dong, tapi Abe meyakinkan bahwa itu ide bagus dan kemudian dengan berat hati campur khawatir campur entah perasaan apalagi, Bu Ina pun akhirnya menemani Abe ke tempat peralatan.
Tebak apa yang Abe lakukan? Bukannya memilih selotip, Abe malah memilih LAKBAN warna hitam untuk menutup mulut mungilnya.
Aku yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu walimurid lain di teras sambil nunggu anak-anak pulang, tiba-tiba saja sudah mendengar kehebohan yang diciptakan semua ibu-ibu, embak dan suster pengasuh, juga guru-guru dan anak-anak lain yang ada disitu. Semua mata terarah ke depan kelas Abe, dan banyak reaksi terdengar demi melihat Abe berdiri disitu, dengan LAKBAN HITAM tertempel di mulutnya! Mulut yang walaupun tertutup lakban sampai pipi, tapi masih kelihatan TERSENYUM.
"Abe kenapa itu mbaakkkk??", orang-orang terutama teman-teman walimurid pada memekik.
Bu Ina, yang berdiri disamping Abe buru-buru menghampiriku dan menjelaskan semuanya. Bahwa ini semua ide Abe sendiri. Bahwa dia juga nggak yakin waktu memutuskan menuruti Abe tadi. Dan aku segera menyadari bahwa pekikan orang-orang tadi berubah menjadi ketawa apalagi begitu melihat ekspresi Abe.
Senyum-senyum sendiri dibalik lakban...loncat2 kegirangan....sorot mata antusias dan bahasa tubuh yang seolah meneriakkan "Ibuuuukkk! Ideku bagus kan??seru kan??wowww ada lakban di mulutku Buukkk!! Ibuk Lihat dehhh!!"
Acara berdoa yang diharapkan tenang setelah Abe berhenti mengobrol di kelas tadi, nggak tau deh gimana nasibnya kemudian... *ngikik campur hela napas*
Kelas 1SD, lebih seru lagi. Gedung sekolah SD jauh lebih besar dari TK dong. Banyak yang bisa dilakukan dan dieksplorasi disana. Minggu-minggu pertama sekolah, Ust. Bambang dan Ust. Imam kudu ikut bereksplorasi kesana-kesini karena di banyak jam pelajaran, Abe menghilang dari kelas. Atau tidak kembali ke kelas tepat pada waktunya. Telat 10 menit, 15 menit.....20 menit sih sudah lebih dari cukup.
Ustad pun terpaksa safari keliling sekolah untuk mencari Abe yang kemudian diketemukan di tempat-tempat yang "seru dan biasanya di bagian pojok lingkungan sekolah" bersama beberapa temannya. Di parkiran. motor, kebun sekolah, tapi kebanyakan biasanya mereka ditemukan diatas rumah pohon.
Hebatnya rumah pohon yang berada tepat dibelakang barisan ruang kelas 1 SD Al Hikmah itu, adalah dari situ anak-anak bisa melihat banyak pemandangan. Suatu kali, si Pasya (salah satu teman Abe) menemukan bahwa dari situ ternyata bisa sedikit melihat kamar mandi siswa perempuan. Hebohlah anak-anak itu!
Dan ketika Ustad menemukan mereka, dari lima atau enam anak yang ada dirumah pohon, kebetulan yang dua orang sudah turun, termasuk Abe, sedang yang lain masih asyik cekikikan sambil perhatiannya terarah ke kamar mandi cewek (yang notabene katanya juga lagi kosong, tapi anak-anak cowo ini nggak tau kenapa kok ya cekikikan).
Anak-anak yang ketika tertangkap basah masih ada diatas, kemudian diajak ustad untuk masuk ruang "time-out". Sebenarnya tak ada yang istimewa dari ruangan ini, kecuali tertutup (aku lupa apakah memang tidak ada jendela atau jendelanya tak pernah dibuka). Yang jelas itu memang ruang "time-out", jadi memang didesain membosankan pastinya. Cuma ada meja dan bangku disitu, biasanya juga tidak dipakai wakaupun selalu terlkihat bersih.
Yang membuat ruangan itu istimewa adalah ekspresi teman-temannya Abe ketika kemudian diijinkan keluar dan kembali ke kelas masing-masing. Sesampai di kelas, heboh mereka bercerita kepada teman yang lain. Heboh layaknya orang yang baru pulang dari sebuah petualangan yang seru.
"Kita tadi masuk di ruangan keren lohh!", dengan mata dan ekspresi antusias.
"Iya, mirip penjara rekk!" Gambaran yang lebay tentunya dari anak-anak itu, karena aku tahu persis ruangan yang dimaksud dan tak sedikitpun mengandung unsur "penjara".
Dan ketika dirumah Abe selesai bercerita betapa teman-temannya sangat seru bermain tawan-tawanan di ruangan itu, dia pun bertanya.
"Buk, kenapa tadi aku nggak ikut dimasukkan ke ruangan penjara itu ya Buk?".....ahh nada irinya kelihatan banget...
"Mungkin karena tadi Abe kan tidak ikut mengintip kamar mandi perempuan kan?"
Abe yang masih kelas 1 SD berpikir sejenak....
"Jadi kalau Abe kepingin masuk ke ruang penjara, Abe kudu ikut mengintip kamar mandi anak perempuan ya...?"
Sumpah, sekarang aku sudah bener-bener lupa waktu itu menjawab apa ke dia!
Dan jangan mengira itu hanya terjadi di sekolah saja. Dirumah pun tak jauh beda. Intinya, ketika aku terpaksa memberikan konsekuensi tertentu atas perilaku yang kurang baik, maka konsekuensi itu bukan hanya diterima dengan 'besar hati' tetapi malah dengan 'senang hati'. Aku hanya bisa tertawa dalam hati melihatnya, sambil menahan berjuta rasa, hihihi.
***
Itulah...
Bahasa anak-anak memang beda dengan orang dewasa. Semua pasti menyadari itu. Yang mungkin jarang disadari oleh kita para orang dewasa yang mengaku sudah mengerti asam garam kehidupan ini adalah, bahwa justru kitalah yang harus belajar banyak dari anak-anak.
Kita yang dewasa justru sudah banyak terkotori dan tertipu banyak hal yang ada di dunia ini. Dan idola kita seorang manusia secerdas Ali bin Abi Thalib pun mengatakan bahwa segala sesuatu yang didunia adalah palsu dan menipu. Jadi kalau kita ingin belajar dari jenis manusia yang masih belum banyak "terlena dan tertipu", salah satunya adalah anak-anak ini. Mereka berhati lebih bening, tak ada prasangka, bahkan ketika orang dewasa berniat memberikan sanksi pun, mereka malah menyambutnya sebagai tawaran atas sebuah petualangan yang seru dan menyenangkan! Wkwkwkwk.
Tul nggak sih? :D
Oya, bicara soal beda bahasa, selama ini dirumah kami ada satu bahasa yang sama sih. Yang sama-sama dipahami dan dimengerti baik oleh orangtua (aku-suami) maupun anak-anak (Abe-Bea). Bahasa itu adalah : Kalau sampai Ibuk sudah DIAM tak bicara, maka itu berarti Ibuk memang benar-benar sedang MARAH. Dan itu adalah konsekuensi dan sanksi yang paling MENYIKSA buat Abe dan Bea, dan karenanya menjadi EFEKTIF.
:D
Tapi yah... Semoga saja konsekuensi itu tetap jarang kuterapkan ya, karena kalau terlalu sering diterapkan takutnya tidak akan efektif lagi. Dan kalau sudah begitu, pasti akan sangat SULIT menemukan bentuk2 sanksi yang efektif buat anak-anak jaman sekarang yang gemar "berpetualang" ini. Huehehehe...
***
Pertamaaaaax... Horeeee...
ReplyDeleteHahahahahaaaa...
ReplyDeleteAbe.. Abe... Cool gayanya, tapi kocak banget yah...
hahaha, kaya ngaca baca soal Abe, hihihi, Hanif ama Iqi juga begitu, sering deh di buku penghubung ada kisah kreatifisme mereka hari itu. Toss soal bahasa diam kalau marah, aku juga begitu ke 3 anak, dan mereka memang sangat tersiksa ketika si Ummi bawel ini diam seribu bahasa, langsung deh minta maaf.
ReplyDeleteBener2 anak jaman sekarang :-)
ReplyDeleteWaahh, jadi yang efektif bentuknya apa ya Mbak, selain diam itu.... *mikir*
ReplyDeleteklo di MP harusnya diganti mbak.. bukan "lama ga nge-NOTE"
ReplyDeletetapi
" lama ga nge blog ato lama ga posting" huehue biar berasa bedanya ... *ga penting*
NIWANDA ada juga di blog nya temenku ummu miqdad... add yaaa
ReplyDeletekayaknya sanksi yang paling menyiksa buat anak2 itu adalah dicueki... gitu bukan, mbak?
ReplyDeleteHoreeeeee! *kasih hadiah jirigen bergambar helkit ke Meri*
ReplyDeletekalo emaknya? emaknya? gimana Mer? *caper*
ReplyDeletehahahaha kebayang! apalagi Hanif yang supertengil gitu wkwkwk :-D
ReplyDeleteKak, soal DIAM, itu kan saking ceriwisnya kita, jadi begitu DIAM, dunia langsung gonjang-ganjing :-D
bener-bener ibuk jaman sekarang ya mb Linda *sambil geleng2* hihihi
ReplyDeletembak Linda, mohon maaf lahir batin ya mbakkk *hugs n sungkem*
Lei, lebaran dulu ah, maaf lahir batin ya Lei *cipika cipiki* :-)
ReplyDeletesoal cara apa yang efektif, it's got to be personal.... Kebetulan dalam keadaan biasa aku kan banyak ngobrol sama anak-anak, jadi begitu aku DIAM, mereka langsung merasa ada yang SALAH. Cara ini tentu akan kurang efektif kalo -misalnya- orangtuanya PENDIAM. Keadaan biasa dia DIAM, kalau marahpun juga DIAM pasti anak nggak akan tahu bedanya kan?
jadi intinya, kudu dicari cara mengungkapkan marah yang baik dan cocok, yang penting sampai pesan "marah"nya kepada pihak lain. Eh ya, ngomong2 Rasulullah kalo marah juga mencontohkan denganDIAM loh. :-)
*getok Ocha*
ReplyDeletedirumahku, IYA Rind...tapi belum tentu juga anak-anak yang lain. Coba baca replyku untuk komennya Leila Niwanda dibawah itu (atau diatas, tergantung settingan deh hwhwhwhhw)
ReplyDeletebaru mampir sini lagi, woooww Abe dah kelas 4 SD yaa Mbak, weeww makin gede, makin pinter makin cakep dunk yaa..
ReplyDeleteklo Bea kelas berapa ya Mbak??
halo Diah apakabar? iya aku juga lamaaa gak ngurus MP *hiks*
ReplyDeleteiya Abe udah kelas 4SD sekarang, Bea kelas 1SD :-)