Suatu pagi, subuh hampir beranjak menjadi fajar. Di kamar 507 sebuah hotel di kawasan Melawai.
Raut wajah dan bahu mas Iwan langsung melorot begitu dia keluar dari kamar mandi. Gerakan tangannya yang dibantu handuk mengucek-ucek rambutnya yang basah serta merta berhenti ketika melihatku. Handukpun lalu terkulai di kedua bahunya. Merasa ekspresinya ini tak mendapat reaksi, diapun cuma geleng-geleng kepala, berjalan melewati belakang kursi yang kududuki didepan meja tulis bergaya art deco di kamar hotel.
Tak juga kualihkan tatapan mata dan perhatianku dari foto-foto anak-anakku, Abe dan Bea di layar laptop. Telapak tangan kananku menopang dagu yang terasa berat.
“Gitu kok mau nyekolahin anak-anak di luar negeri...”
Aku masih diam.
“Wong arek-arek baik-baik saja gitu lho...,” ujar Mas Iwan lagi sambil sibuk mempersiapkan “kantor berjalan”-nya. Melepaskan komunikator dari kabel chargernya, memeriksa jadwal hari itu, dan sambil berpakaian dia masih geleng-geleng melihatku yang tidak mau melepaskan laptop yang rupanya dia butuhkan untuk online.
“Iya, tauuuu...” sahutku malas. Otakku tahu mereka baik-baik saja di rumah. Panggilan telepon yang sudah dua kali kulakukan kerumah pun sudah cukup menjelaskan (padahal saat itu masih jam 5.30 pagi). “Tapi ini pertama kali nya anak-anak bangun tidur dan aku nggak ada dirumah...” gumamku masih sambil bertopang dagu dan menerawang. Tak menyadari si laptop sudah berpindah ke pangkuan si mas yang duduk di bibir ranjang dan foto anak-anak sudah berganti tampilan steelonthenet.com.
“Trus, piye lek mene arek-arek sido sekolah trus tinggal nang luar negeri? (Trus, gimana kalo besok anak-anak jadi sekolah dan tinggal di luar negeri??)”
“Opo penake aku melu arek-arek ae yo...omah nang luar negeri pisan...? (Apa enaknya aku ikut anak-anak aja ya, tinggal di luar negeri juga??), kaya Pak Sindu temenmu itu mas, si bapak di Indonesia cari duit, istrinya ikut anak-anaknya yang sekolah, tinggal di luar negeri...!” jawabku asal.
“Ngono ta...?” (Begitu ya?) suara mas datar, sambil perhatiannya masih ke website paginya itu (maksudku kaya koran pagi gitu lho, first thing to read in the morning, hehe...)
Dengan malas aku pindah naik ke tempat tidur dan berbaring. Duhhh pagi-pagi jam segini dirumah biasanya adalah waktu paling ramai dan kacau. Urak-urak anak-anak mandi dan sarapan, ngecek buku penghubung sambil mulut tak henti menyemburkan “pesan-pesan” untuk anak-anak selama di sekolah (terutama Abe yang sekolah sampe sore dan pelupanya minta ampun). Hikss....aku heran, kok banyak ya teman-teman pasutri yang mengaku suka sekali menginap di hotel berdua begini?? Kenapa nggak berempat saja?? Dudul...
“Yo gak popo seehh. Semuanya itu
“Kaya aku gini, setiap pergi lama begini, aku kan selalu menyiapkan Rendra untuk menggantikan aku di kantor,” Mas Rendra adalah sahabat SMA si mas yang sekarang menjadi orang kepercayaannya. “Ya kalau kamu mau tinggal di luar negeri ya silahkan to, ntar duit biaya hidup kukirim tiap bulan kesana....yang penting, tinggal menyiapkan saja orang yang akan menggantikan tugas-tugas mu disini, beres
Dari ekor mataku yang melirik, kulihat bibir si Mas menyeringai usil, sambil matanya tetap tertuju ke layar laptopnya.
“Maksudnyaa...????”
“Pikir aja sendiri...,” seringainya makin lebar.
Untung si laptop nggak sampai terjatuh karena sejurus kemudian bantalpun melayang menerjang. Si Mas pun tertawa lebar, tapi kali ini matanya sudah lepas dari laptop, pindah mengarah ke istrinya yang ngedumel. Sebuah omelan panjang yang (dudulnya diakui) sangat disukainya, yang baru berhenti ketika Mas Iwan mengacak-acak rambutku dengan puas...
yang baru berhenti ketika Mas Iwan mengacak-acak rambutku dengan puas...
ReplyDelete(abis ngacak ngacak rambut....ehm...)
untung nulisnya udah larut nih ga ketahuan ama yg punya rumah
masih ada bagian 3 kan mbak? :)
ReplyDeleteNamanya juga naluri seorang ibu... tapi suaminya kok ya iseng ngajuin syarat hehehe.
ReplyDeleteiyo iki, untung njenengan.... :-b
ReplyDeletehabis ngacak-ngacak rambut ya rambutnya jadi berantakan mas...!! :-D
-gubrax-
ReplyDeletesik tas ambegan mas.... :-S
demi kelancaran sistem dan manajemen seluruh anggota keluarga La...*katanya*...
ReplyDeletehuehehehehe dudul...
untung juga nggak ada yang jadi aktif syaraf "diskusi" poli poli nya... hihihhi (kok malah mengingatkan sih ini???kekekekeek) :))
ReplyDeleteopo perlu cari inong mulai sekarang ya mas?? untuk menggantikan tugas-tugasku itu..? *lha iki wis njarag ki!* :)))
pemakaian kata2 yang tidak seperti crita biasanya..
ReplyDeleteoh dear, really? mungkin karena pake percakapannya suroboyoan kali.. :-S *salah ya??* :-D
ReplyDeletehehe...thx for the comment, dwi... :-)
khan masih lama mas...sekarang sih di unyel - unyel aja dulu sampai puas..hi,hi,hi
ReplyDeletewhekeke......berani juga ya masmu...:))
ReplyDeletehuehehehe memang takutnya kalo nggak dibiasakan mandiri dari kecil, takutnya ketika waktunya tiba, anak-anak bakalan having hard time berpisah sama ibuknya...
ReplyDeleteotakku sih sadar banget hal itu mbak, tapi hatiku itu lho....huhuhuuu.... :-((
wakakakakakakakak
ReplyDeletewek..!! :b
wah beraninya sih kalo usil-usil gitu thok Teh, kalo diseriusi blom tentu.. hihihi
ReplyDeletesaya cukup bersyukur bahwa dia termasuk laki-laki yang perlu dilestarikan di jaman sekarang, karena tidak begitu prefer sama yang namanya poligami...banyak takutnya daripada senengnya, dari takut nggak adil sampai takut hubungan dengan anak-anak atau antar anak-anak jadi dudul(ini pengakuannya sih...aslinya yo embuh, huweheheheheheh)
doakan saja ya tehhhh....(doakan apa? saya juga nggak yakin minta doa apa nih :-D)
hemm...doakan saya senantiasa cukup untuk dia...aminnn :-)