Wednesday, December 30, 2009

Kisah Bu Ani Yang Malang...

Oke. Demi menumbuhkan kembali mood menulis yang dudul hampir setahun ini, maka harus sedikit memaksa diri sendiri nulis deh. Hmm…ngomongin apa ya enaknya kali ini?

Oya, kemarin lihat di TV, di Sumatera (lupa tepatnya dimana) ada lagi berita seorang ibu yang membantai anaknya sendiri. Astaghfirullah. Dari kelima anaknya, 3 diantaranya (umur 10, 8, dan 3 tahun) meninggal diujung tebasan kapak membabibuta ibu kandung sendiri. Dua anak lainnya (umur 7 dan 5 tahun) menderita banyak luka parah di sekujur tubuhnya. Konon si ibu mengalami histeria karena suaminya yang sedang merantau memutuskan untuk mengajak 5 anaknya ke perantauan dan meninggalkan sang istri sendiri di kampung halaman.

Sekali lagi sekujur tubuhku mengejang ngeri. Siapa yang tidak??

Masih miris ngeri, ingatanku langsung melayang ke sebuah cerita yang disampaikan trainer parenting Bpk. Faudzil Adhim. Kira-kira setahun lalu, di ruangan Parenting Skill Class (PSC) Sekolah Al Hikmah, Pak Faudzil membuat semua walimurid yang hadir mengikuti pelatihan, bergidik ngeri dan hampir semua mengucurkan air mata.

Cerita itu tentang Ani Komariah Sriwijaya, seorang ibu rumah tangga asli Boyolali tapi tinggal di bandung, lulusan ITB, yang pada 2006 lalu menggegerkan masyarakat karena membunuh ketiga anaknya yang masih kecil dengan cara membekap mereka dengan bantal sampai meninggal. Mungkin masih banyak yang ingat kasusnya. Banyak yang mengira bahwa alasan pembunuhan itu adalah karena Bu Ani depresi memikirkan masalah ekonomi dan mengkhawatirkan masa depan anaknya yang suram. Bu Ani kemudian diputus bebas oleh pengadilan dan diperintahkan untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Pak Faudzil Adhim kebetulan tergabung didalam tim psikologi yang memeriksa kondisi kejiwaan Bu Ani waktu itu, dan cerita latar belakang kenapa Bu Ani memutuskan untuk mengakhiri hidup anak2nya inilah yang mengundang kucuran airmata dan menegakkan bulu roma kami semua yang mendengarnya.

Bu Ani sendiri, boleh dibilang adalah potret sempurna dari keberadaan seorang anak. Dari kecil sampai lulus ITB, prestasi akademiknya selalu cemerlang. Pengalaman sosialnya juga bagus. Intinya, dari luar dia merupakan anak yang diidam-idamkan semua orangtua, titik. Ketika kemudian menikah dan menjadi seorang ibu, dia juga tidak beda dengan ibu-ibu lainnya yang sangat menyayangi anak-anaknya, segenap jiwa dan raga. Lantas kenapa dia sampai memutuskan mengakhiri hidup anak-anaknya sendiri?? Sebelum mengungkapkan alasan yang berhasil digali oleh tim psikologi yang memeriksanya, Pak Faudzil menggambarkan suasana siang itu, ketika Bu Ani melaksanakan niat yang sudah bulat diambilnya sejak beberapa waktu sebelumnya.

Siang itu si anak sulung Nadhif (6 tahun) baru pulang sekolah. Mungkin sekitar dhuhur, ketika sehabis sholat Bu Ani menyambut kedatangan si sulung dengan senyum dan pelukan sayang seperti biasa. Kemudian disiapkannya makan siang untuk Nadhif, ditemaninya si sulung makan siang bersama adiknya Faras (3 tahun, si anak tengah) . Si bungsu Umar (9 bulan) saat itu sedang tidur siang.

Sepanjang makan siang itu, Bu Ani lebih banyak mengelus rambut anak2 dan menciumi kepala mereka daripada hari-hari yang lain. Setelah selesai disuruhnya Nadhif dan Faras mandi. Sehabis mandi, mereka diberi pakaian yang nyaman dan dibedak seluruh tubuhnya sampai harum. Bu Ani kemudian menyuruh si sulung bermain di ruangan lain sementara dia mengantar si tengah tidur siang di kamar. (Aku tidak yakin yang mana diantara mereka yang lebih dulu diminta untuk tidur siang, tetapi kurang lebih begitu kejadiannya, satu anak diantar tidur siang dan yang lain bermain di luar kamar).

Bu Ani tak lupa mengajak si anak membaca doa sebelum tidur, bahkan dengan lembut menyanyikan beberapa lagu pengantar tidur yang diminta anaknya. Ketika kemudian dia yakin bahwa si anak sudah tertidur pulas, diambilnya bantal dan ditangkupkannya ke wajah anaknya tersebut….kuat-kuat….lama…
.cukup lama sampai nafas si anak berhenti…

Kemudian Bu Ani memanggil si anak lain yang sedang bermain di luar kamar. “Ayo, temani saudaramu tidur siang nak…” Dengan kelembutan dan kasih sayang yang sama diantarkannya si kecil ke hangatnya tidur siang dan mimpi yang indah… Dan Bu Ani sekali lagi mengambil bantal untuk ditangkupkan ke wajah si kecil… Si kecil pun kembali meregang nyawa tepat disamping saudara yang tanpa sepengetahuannya sudah lebih dulu meninggalkannya.

Dan terakhir, si bungsu Umar, yang masih bayi dan terlelap tidur pun, kemudian menyusul kedua kakaknya…meregang nyawa didalam pelukan Bu Ani…

***

Kisah diatas sangat mengerikan buat kita semua, tentu saja… Tetapi kalau ada yang lebih mengerikan adalah alasan Bu Ani melakukannya. Kalau melihat latar belakang pendidikannya, tentu hal seperti ini kurang masuk akal. Seharusnya Bu Ani sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, lebih bisa mengatasi tekanan mental maupun emosi didalam dirinya. Tetapi apa yang dialaminya (seperti yang diceritakan oleh Pak Fauzdil di PSC) ternyata memang sangat besar, jauh lebih besar daripada yang kami semua kira.
Setelah melewati penggalian yang lama dan dalam oleh tim psikologi, terungkap alasan sebenarnya dibalik keputusan Bu Ani…

Ani Komariah, dari luar memang potret anak yang sempurna. Tetapi sangat ironis dan dramatis, kecemerlangan dirinya dihadapan semua orang, ternyata tidak bisa dilihat oleh si Ani terpancar keluar dari mata ibu kandungnya sendiri. Ibunda dari Ani, diceritakan tidak pernah merasa puas dengan apapun yang dicapai oleh putrinya. Dan sang Ibu adalah tipe wanita yang SANGAT PENGOMEL!! Sekeras apapun Ani berusaha memberikan yang terbaik dalam hidupnya, tetap saja yang dia dapat ketika pulang adalah omelan tidak puas dari ibunya. Sebanyak apapun nilai A yang dia dapat, begitu berhadapan dengan ibunya langsung menjadi tidak berarti karena akan selalu dibandingkan dengan prestasi teman lain yang nilai A nya lebih banyak. Setinggi apapun prestasi yang dicapai Ani, yang dilihat sang Ibu adalah orang lain yang berprestasi lebih tinggi lagi. Omelan demi omelan tanda ketidakpuasan, sepertinya hanya itu yang Ani dapat selama dia tumbuh dewasa. Dan itu merupakan sebuah luka yang besar yang kemudian berurat akar dalam dirinya.

Ketika Ani menikah serta melahirkan ketiga anak-anaknya, omelan-omalen tak puas dari sang ibu bahkan sama sekali bukanlah yang terburuk yang bisa terjadi…

Selama mendidik putra-putrinya, pelan-pelan Ani belajar dan menyadari bahwa kebiasaan ibunya mendidik dia dulu, tanpa sadar seringkali dilakukannya pada anak-anaknya. Sekeras apapun niatnya untuk bertekad tidak mau meniru cara mendidik ibunya yang penuh omelan tak puas itu, tetapi sesering itu juga tanpa disadarinya, itu terjadi… Anaknya tumbuh dengan omelan yang (walaupun tidak sebanyak dirinya, tetapi) mirip dengan yang selalu diterimanya dulu dari sang ibu…

Ani kemudian belajar dan menemukan bahwa luka yang ditorehkan sang ibu didalam hidupnya, tak mungkin terhapuskan… Lebih buruk lagi, kemudian dia memutuskan bahwa luka itu menular, menurun dan melukai anak-anaknya juga… Luka yang kali ini dia timbulkan sendiri…. Dia torehkan tanpa sadar kedalam hidup anak-anak yang dicintainya… Luka yang menyebar dengan kuat, bahkan tekad bulatnya yang kuat untuk menjadi ibu yang baik pun, tak kuasa menghentikannya…

Sebagai seorang ibu, Ani merasa bahwa dia adalah ibu yang sudah terlanjur terlaknat. Terlaknat oleh luka dan kebiasaan buruk tak tersembuhkan yang sudah kadung ditorehkan ibunya dulu. Dan lebih buruk lagi, sekarang, tanpa dia sadari dan bisa hentikan, dia akan mencetak 3 calon orangtua yang terlaknat juga, yaitu anak-anaknya. Ani merasa nanti ketika anak2nya sudah menjadi orangtua, tanpa sadar mereka pasti akan mewarisi caranya memperlakukan anak-anak, sekeras apapun mereka mungkin akan mencoba menghentikannya.

Tak terbayangkan oleh Ani nasib cucu dan keturunannya, kalau luka ini akan terus menjalar turun kepada keturunannya. Kalau omelan-omelan jahanam itu akan terus menelan korban, melukai hidup banyak orang karena tidak bisa dihentikan penularannya. Melukai banyak orang yang kemudian hanya akan berakhir sama, menjadi penyebar dan pembawa kebiasaan terkutuk itu…

Konon, Bu Ani masih mengakui betapa cintanya dia pada sang bunda… Tetapi pada akhirnya, sebagai seorang ibu yang juga sangat mencintai Nadhif, Faras dan Umar, Bu Ani memutuskan bahwa dia tidak sanggup lagi mencintai anak-anaknya… Tidak dengan cara seperti itu…

***

Aku tidak tahu dengan Anda pembaca sekalian, tetapi aku pribadi sering sekali merasa, ketika memperlakukan anak-anak, aku sering merasa takjub. Takjub karena ternyata dalam beberapa hal, caraku memperlakukan anak-anak mirip bahkan persis dengan perlakuan orangtuaku ketika aku kecil. Dan anehnya, perasaan takjub ini biasanya muncul justru ketika aku SUDAH SELESAI melakukannya. Itu artinya memang perlakuan itu tadi kulakukan TANPA KUSADARI sebelumnya. Keputusan memperlakukan anak-anak seperti itu, seperti sudah otomatis termainkan dalam otakku, programnya seperti sudah terinstall sejak dulu, di detik yang sama ketika orangtuaku memperlakukannya kepadaku.

Ya Allah pemilik hatiku… Aku mohon kepadaMu…

Tuntunlah aku, lindungilah aku supaya aku hanya mewariskan segala sesuatu yang Engkau sukai kepada anak cucu dan segenap keturunanku… *aminnn* T_T

Tentu aku tak bisa berhenti bersyukur bahwa Allah telah memilihkan untukku orangtua sebaik dan sehangat penuh cinta seperti Kakung dan Uti… Aku akan menjadi saksi dihadapan Allah, mereka yang terbaik! *hiksss jadi pengen banget peluk ibuk sekarang….T_T*

Tapi pada akhirnya, sedikit banyak, aku pun jadi bisa memahami perasaan Bu Ani…

Bu Ani yang malang… :-(

:::::.....

52 comments:

  1. mbakkkkkkkkkkkk aku nangis bacanya. betapa berat tanggung jawab menjadi orang tua.........*aku orang tua bukan sih???*

    ReplyDelete
  2. ya ampun Arum....masak pake nanya?? *sambil menanyakan umurnya Arum* :-D

    iya, bikin merinding mengetahui betapa sekecil apapun perlakuan kita terhadap anak2, ternyata itu menancap kuat di diri mereka bahkan menjadi hal yang terwariskan turun temurun :-(((

    ReplyDelete
  3. Masya Allah baru tau alasan sebenernya kenapa bu Ani seperti itu....
    emang bener apa yg kita dapetkan sejak kecil otomatis akan tertanam dibawah otak sadar kita sehingga kita mau nga mau melakukan hal yang sama persisi...
    gue sendiri mencoba untuk melakukan hal yang baik saja dari nyokap dan hal yang kurang dari nyokap gue hindari sebisa mungkin tapiiiiiiiiiii ternyata tanpa gue sadari gue melakukan hal yang sama. seperti gue dulu paling sebel kalo beli barang bukan maunya gue tapi maunya nyokap eehhh gue hampir saja melakukan hal yang sama kepada 2i....
    Tks banget udah ingetin yaa...

    ReplyDelete
  4. syukurlah loe nulis lagi.... ^_^

    tapi mbok ya jangan bikin gw nangis teriris2 di penghujung tahun ini dong.... ToT

    *handuk mana??*

    ReplyDelete
  5. bener banget mbak, cara mendidik secara nggak sadar selalu memper dengan bagaimana kita dididik. tapi ada solusi nggak sih bagaimana menghindari bagian buruknya dan menambah bagian baiknya?

    ReplyDelete
  6. sama2 mbak, menulis ini juga jadi pengingat buat saya sendiri...tuh kan berarti apa yang saya rasakan, dirasakan juga oleh mb Rita...perlakuan2 itu bener2 kita lakukan tanpa sadar! kaya otomatic gitu ya kan??? :-S

    ReplyDelete
  7. huehuehueheuehu mpoookkkk!!!!!!!! :-D
    kangen baca komenmu disini...dan komenmu tetep aja masih kerennn *kalo kamu nangis, itu berarti keren dong?? wakakakak*

    *ngasih ember berisi handuk gambar ranger*
    met taon baru yee... :-)

    ReplyDelete
  8. iya Rind...kalo solusi, apa ya..??

    hm..otak kita itu kan kapasitasnya sangat besar ya, bahkan kabarnya einstein saja cuma memakai 2% dari kemampuan otaknya....jadi mungkin kaya teori gelas kaca yang kena noda oli itu ya....kita harus menuangkan air putih penuh2 ke gelas itu, sampai tumpah2 dan olinya ikut tumpah, dan hanya tersisa air putih saja di gelas itu....

    nggak ada yang nggak mungkin rasanya, kalo kita terus belajar dan memperbaiki diri, plus doa mohon perlindungan Allah kali ya *duhhh nyentil diri sendiri juga nih hihihi* :-D

    ReplyDelete
  9. amiiin..

    gemeter rek.. pas banget postinganmu ini untuk renungan akhir tahun, mbak ..
    semakin aku berusaha untuk ga niru cara didik orang tuaku ke anak2nya.. kok aku semakin pleg sama beliau2 yaaa..
    tapi kalo kita tetep usaha, masak sih ngga dikasih yang terbaik..?

    ReplyDelete
  10. Tks sharingnya mbak... inspiring banget. Mbrebes mili...
    Still learning how 2 be a good parents. A never ending work. Hanya bisa berniat & terus mencoba memberi yg terbaik kepada anak2. Semoga Allah meridloi semua yg kita lakukan...

    ReplyDelete
  11. speechless dulu...

    mmh..mmh anak adalah amanah yang sangat besar. Rela juga mengalami apa yang Mbak wahida katakan, bahwa ada 'program' yang otomatis sudah terinstal dalam diri kita bagaiman berlaku di depan buah hati kita.

    Meskipun dua orang mengikuti pelatihan yang sama, membaca buku yang sama dan mendiskusikan untuk mendidik anak dengan cara yang sama. Namun tetap saja, ada yang beda ...
    Ada yang sudah melekat di masing masing pribadi..

    Nah jika yang terinstall itu program yang baik, itu adalah anugerah. Namun bagiaman jika sebaliknya? Sementara nanti kita akan 'ditanya', bagaimana kita mendidik anak kita...

    Oleh karena 'ketakutan' akan ditanya suatu saat nanti itulah, makanya Rela berfikir bahwa mendidik dan memutuskan sesuatu untuk anak itu bukan hanya berdasarkan feeling atau kebiasaan. Karena kemungkinana kebiasaan itu tak baik untuk anak. Yaa seperti program yang terinstall otomatis itu.

    Kita, saya sebagai Ibu harus mencari banyak informasi sebelum memutuskan sesuatu. Sehingga jika Alloh swt bertanya, inshaAlloh saya mempunyai 'bukti' yang cukup bahwa saya telah 'berusaha' menjalankan amanah dariNya dengan cukup bertanggung jawab.

    Namun tetap saja, kadang kita bertindak dibawah sadar kita. Segala ilmu yang didapat menguap begitu saja dalam kenyataanya. So, hanya dengan berdo'a dan menitipkan hati kepada Alloh swt sajalah, Rela meminta agar tidak berlaku dzalim terhadap amanah dariNya ...

    *hiks jadi sedih, masih sering berbuat dzalim dan tidak adil sama Wafa...
    **oia Mbak, jzkllh khairankatsira atas tulisannya... Lama ingin tahu 'kelanjutan' kisah Bu Ani ini. Bukan untuk bergosip... tapi untuk dijadikan i'tibar dalam hidup...

    ReplyDelete
  12. Aniek Qoriah Sriwijaya temenku SMA dulu mbak, bener dia anak yang pintar...sewaktu membaca pertamakali beritanya di detik.com sama sekali ngga percaya tapi begitu disebutkan nama lengkapnya, asalnya, sekolahnya baru yakin kalau yang disebut Ani itu temen kami...Asli sedih tak terperi rasanya, karena kita sangat kenal dekat dengan sosok ini..tapi alhamdulilah sekarang keadaannya sudah lebih baik..

    ReplyDelete
  13. *duh kangen deh baca komen mb tyas disini hehe*

    memang ada dua hal disini ya mbak, bagaimana pendidikan orangtua ke kita, dan bagaimana pendidikan kita kepada anak-anak....kalo mau ideal sih pengennya jadi kaya sebutan para mahasiswa waktu seru2nya reformasi dulu, yaitu jadi "agen of change".....agen perubahan, apa yang kurang dari yang kita dapat sebagai anak, kita bisa perbaiki untuk diteruskan kepada anak-anak....

    dari 2 hal itu, intinya jadi 3 hal ini: perjuangan, perjuangan dan perjuangan

    ReplyDelete
  14. sama2, waktu pertama mendengar kisah ini dari Pak Faudzil, kami semua juga nggak keruan merindingnya... :-(

    hmm neverending...iya aku setuju banget dengan ini.... :-)

    ReplyDelete
  15. nah Rela, inilah bukti bahwa aku tidak salah menilaimu dalam hati...dari dulu...kamu adalah sesuatu yang dalam, dan aku sangat menyayangi dan mengagumimu karena itu...

    semoga kita bisa mengemban amanah ini ya dear.... T_T

    ReplyDelete
  16. masyaAllah....jadi begitu ya mbak Arie.... :o
    saya aja yang nggak kenal dia merasakan sedih tak terperi mengikuti ceritanya mba..... Ya Allah...

    btw, keadaan terakhirnya bagaimana sekarang dia mba? ada info ga? apa dia masih berada di RSJ atau gimana? semoga Allah selalu melindungi beliau T_T

    ReplyDelete
  17. aamiin...

    kalimat Mbak, rela artikan sebagai sebuah do'a ... ^__^
    karena mungkin jika Mbak kenal baik dengan rela, Mbak akan tau seperti apa Rela itu ^__^
    Karena hingga saat ini Alloh swt masih berkenan menutup aib-aibku .. hiks
    Dan semoga setelah tau seperti apa Rela itu, rasa sayangnya gak meleleh dan kemudian hilang .. hehe
    *and it is a big pleasrure to be loved by you tink tink.. blushing ...

    Aamiin .. semoga kita bisa mengembannya ya Mbak dan mampu menjawab semua yang 'nanti' Alloh swt tanyakan kepada kita :)

    ReplyDelete
  18. alhamdulillah beliau sudah memulai kehidupan baru lagi bersama suaminya, bahkan sudah mempunyai putri kecil yang cantik..

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah...dia dikaruniai suami yg baik dan pengertian.
    Semoga kita semua bisa memetik hikmah dan belajar menjadi ibu yg baik *ahhh ngomong emang gampang ya*

    ReplyDelete
  20. Lam kenal mbak.
    Uda lama ga ngikutin brita mbak ani dan baru tau apa penyebabnya, ga nyangka bgt, nangis pula bacanya.
    Emang bener lho, apa yg dulu diperlihatkan orangtua kpd qta, tanpa qta sadari qta tiru terhadap anak qta sendiri

    ReplyDelete
  21. berdiri bulu romaku...
    walaupun aku belum jadi seorang ayah...
    tapi aku punya ponakan. dan perlakuanku juga mendapat pengaruh dari orang tua...
    bukan maksud kita menyalahkan orang tua kita, bukan?
    semoga kita bisa belajar dan mendapatkan hidayah untuk memberikan yang lebih baik buat generasi kita. wallahu a'lam

    ReplyDelete
  22. hmm, menarik ... mengapa ibu anik sampai mengambil jalan pintas seperti itu? itu yang aku nggak mengerti. maksudku, kalau dia sadar bahwa cara mendidik ibunya salah, dia pasti bisa mengubah cara mendidiknya sendiri kepada anak2-nya. aku rasa ini semacam penyalahan kepada orang tua sebelumnya, tapi kan yang bisa mengubah diri kita sendiri kan kita juga. dalam hal ini aku tidak akan menyalahkan orang tua ibu anik kalau cara mendidiknya seperti itu, barangkali orang tua sebelumnya juga seperti itu. dan menurut saya orang tua orang tua jaman dulu dididik dengan cara yang keras, sangat keras, bahkan lebih lebih keras daripada cara kita dididik sekarang dan cara kita mendidik anak-anak kita. lalu apa kita jadi menyalahkan orang tua kita?

    ReplyDelete
  23. kayaknya ada faktor baby blue (cmiiw). ditambah ortunya bu ani juga sampai sebelum kejadian sepertinya tidak puas dengan cara didik anaknya kepada cucu2nya. dan memang susah sekali mengikuti logika berpikir orang depresi yang emang nggak logis...

    ReplyDelete
  24. Mbak. Saya menangis baca ini, seperti sedang membaca diri saya. Ibu saya persis seperti ibu dari ibu Ani.
    Saya lulusan fakultas teknik sebuah univ negeri. Ibu saya kecewa. Ungkapan2 kecewa sering ia lontarkan. Omelan? Hari2 saya dengar krn saya tinggal dengan ibu karena berbagai alasan (salah satunya krn saudara2 saya tak ada yang tinggal sekota).

    Saya sampai paranoid dgn ibu. Mendengar seretan sandalnya saya bisa jadi ketakutan. Saya sudah 2 kali hampir gila. Sudah pernah teriak2 spt orang gila. Pernah sampai bicara sendiri berulang kali. Juga pernah punya pikiran pingin menusuk siapa saja.

    Alhamdulillah Allah masih menyayangi saya. Hingga hari ini saya masih waras.
    Saya sangat tahu apa yg ibu Ani rasakan. Saya juga merasakannya. Dan itu beban yang sangat berat. Ujian yang sangat besar karena menghadapi ibu kandung sendiri.

    Mudah2an Allah masih terus menjaga saya krn saya sadar, sifat dan sikap ibu saya ada yang mampir ke dalam diri saya. mohon do'anya dan siapa pun yang membaca ini.

    ReplyDelete
  25. innalillahi..
    jadi orang tua ternyata susah ya..

    ReplyDelete
  26. mbaaak...saya hampir melakukannya ke anak saya waktu beberapa waktu lalu ibu saya melakukan hal yang sama dengan ibunda ibu Ani...saya ngamuk sejadi2nya...Alhamdulillah ibu saya segera sadar,bapak saya sampai nangis,suami saya terus peluk saya sangat erat...sekarang ibu saya sudah semakin arif untuk berpendapat...
    ternyata ada baiknya untuk share ke orangtua kalau kita tidak suka diperlakukan hal seperti itu....insyaAllah ibu kita bisa mengerti..semoga tidak ada lagi kejadian seperti ini..

    ReplyDelete
  27. Saya juga termasuk salah satu yang mengalami trauma masa kecil tp berbeda kasus........jujur emang bener trauma yg kita alami atau cara pola asuh ortu sadar tidak sadar kurang lebih pasti kita terapkan ke anak2 kita dan akan seterusnya..........tapi dengan dukungan keluarga lain seperti suami, saudara dan bahkan ortu kita sendiri yang beranjak lansia akan mereduksi pola asuh *galak atau omelan tak jelas* dan satu kunci pasti selalu berdo;a pada Alloh SWT meminta kesabaran dan kekuatan dalam mendidik anak......karena yang maha Menguasai Hati dan Pikiran adalah Alloh....

    Pernah saya sampai tidak terkontrol emosi..... ketakutan sendiri ketika setelah memarahi anak dan merenung betapa bodohnya kita....tp nasi telah menjadi bubur itu secara tak sadar telah kita lakukan.... akhirnya do;a dan cerita2 manis selalu di sampaikan ke anak untuk mengurangi trauma padanya.......dan senjata pamungkas kita adalah Sedekah.....sebagai tameng agar kita terhindar dari perbuatan konyol pada keluarga, anak kita sendiri Wallohu alam bishowab.....Hanya Alloh yang Maha mengetahui.......

    ReplyDelete
  28. yuupp, betul, sekecil apapun akan menimbulkan luka mendalam, bahkan luka itu menggores di otak mereka

    ReplyDelete
  29. Baru baca. Mungkin pada dasarnya Bu Ani sudah memiliki gen sakit jiwa--apapun definisinya--yang tak terdeteksi lalu berkembang sebab lingkungan termasuk pola asuh ibunya. jadi ingat kasus Andrea Yates, Luka Cinta Andrea. Tfs. :)

    ReplyDelete
  30. baru baca cerita ini
    udah lama emang penasaran dg kasus bu Ani tsb, sering juga saya ceritakan di kelas saat ngajar

    ReplyDelete
  31. Mba salam kenal ya ^o^ sama, udah lama juga ngga ngikutin cerita Bu Ani. Dan waktu baca, aku punya pendapat yang sama dengan Mas Wikan :) Menurutku, adalah penting juga kita belajar melihat bagaimana orang tua kita dididik, dan apa yang beliau berusaha ubah dari didikan yang diperoleh sebelumnya. Hal yang udah otomatis "terprogram" memang kerasa banget juga ^^ tapi kita juga punya kekuatan bernama "usaha" :) TFS ya Mba...

    ReplyDelete
  32. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  33. ya maaf mba sekedar saran yg g terlalu membantu
    cma aq pernah baca
    didiklah anakmu sesuai zaman sekarang
    bukan mendidik anak sesuai zaman kita
    ya mgkn ada positif dan negatifnya
    tapi aq yakin mba dian dan mas decta adalah orang tua yang hebat ^_^
    semoga selalu menjadi keluarga yang bahagia ^_^
    amin ya robal alamin

    ReplyDelete
  34. Sekeras apapun ibu mendidik anaknya. Jangan membunuh..!

    ReplyDelete
  35. sediktnya banyaknya sama dengan aku rasakan dalam membesarkan kedua putriku,,,

    :'( jadi sedih kalo inget,,,
    Tapi terus belajar dan memperbaiki diri, ditambah dukungan dari suami tercinta (partner terhebat yg pernah hadir)
    Semoga aku bisa memperbaiki kesalahan2 yg telah lalu
    Dan menjadikan putri2ku orang tua yg penuh kelembutan ,,,

    ReplyDelete
  36. Assalamu'alaikum Wr. Wb, salam kenal mb.

    Subhanallah, Masya Allah, berurai air mata saya membaca kisah bu Ani. Semula saya kira beliau sekedar depresi faktor ekonomi. Tapi tulisan mb membuat saya menyadari, bahwa saya harus banyak belajar mengendalikan cara berfikir, bersikap, berbuat dan berkata2 pada suami dan anak2. Bahwa hidup kita HARUS dibawah kendali kita, ga bisa lagi kita berkata : beginilah sifat dan gaya saya, take it or leave it. T_T

    Terima kasih atas tulisannya yang sangat inspiratif. Alhamdulillah saya mempunyai ibu, Mamah yang luar biasa sabar dan baik hati, yang mendidik 3 putrinya dengan meninggalkan JEJAK pendidikan serta akhlaq yang baik, yang Alhamdulillah membuat kami bertiga menjadi diri kami sendiri. Semoga kami putri2nya bisa mencontoh yang terbaik yang pernah diberikan Mamah, dan senantiasa menyempurnakan diri menjadi ibu yang lebih baik untuk anak2 kami.

    Aamiin.

    ReplyDelete
  37. Kalau boleh numpang sharing... khilaf itu memang tempatnya manusia.... ga ada orang tua yang sempurna, anak yang sempurna. Kisahnya memang miris. Tapi bukan berarti harus menyerah untuk terus berupaya menjadi orang tua yang terus lebih baik, kan? memutus mata rantai memang tidaklah mudah, tapi juga bukan berarti tidak bisa. Tinggal apakah kita sebagai orang tua juga mau belajar dan terbuka??? mengakui ketika salah, meminta maaf pada anak, belajar melalui parenting atau seminar dan baca buku. Ayo, belajar terus untuk jadi orang tua yang semakin baik. :) terima kasih

    ReplyDelete
  38. trmksh sdh diingatkan....mmg jika diingat pola asuh jaman dahulu sangat2 byk hal yg tdk sesuai,jika diterapkan ke pola asuh jaman sekarang... dan celakanya lagi, semakin berusaha tidak sama dan meninggalkan cara lama... kok malah semakin samaaaa.... terlepas itu dari faktor tidak sengaja ataupun sebaliknya,huhuhuhuhu

    ReplyDelete
  39. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  40. Menurut hemat saya, tidak semua alasan bu Ani itu dapat dibenarkan. Terutama pada saat dia membunuh anak2nya. Sedih memang mendengar cerita Bu Ani tersebut tapi kesedihan itu hilang saat Bu Ani memvonis anak-anaknya akan memiliki "sifat" dirinya kelak saat anak-anak itu menjadi orang tua dan memutuskan untuk mengakhiri hidup anak-anaknya.
    Inspirasinya dalam memberi peringatan dalam mendidik anak patut diapresiasi, tapi jika gagal dalam mendidik apakah anak akan diakhiri nyawanya? Banyak solusi yang ada (spt : dipondokkan, di panti asuhkan, atau terserah yang penting bukan dia yang mendidik, lagipula di sekolah juga banyak pendidik moral) tapi mengapa mesti solusinya dengan pembunuhan?
    Yah, setidaknya itu memberi pelajaran qt calon orangtua dan orangtua. terima kasih

    ReplyDelete
  41. saya tidak sependapat dengan Bu Ani, yang harus mengakhiri nyawa anak-anaknya hanya karena takut anaknya kelak akan mewarisi sifatnya. Saya malah kasihan dengan anak-anaknya yang bernasib tragis.

    ReplyDelete
  42. bu ani pantas dikasihani. kasihan dalam pengertian saya adalah simpati sekaligus penghinaan untuk sikap dan tindakan seorang yang pantas dikasihani. dalam kasus ini, pembunuhan yang dilakukan bu ani. bu ani sungguh sungguh pantas dikasihani.

    ReplyDelete
  43. seorang Ibu bukanlah Tuhan yg bisa menentukan begitu saja nasib dan umur anak"nya....

    ReplyDelete
  44. Sahabat-sahabatku terkasih, masa lalu tidak bisa diubah, segera hancurkan block mental ataupun trauma masa lalu dgn Metode yg benar.

    Perlakuan kejam orang tua memang sangat membekas sampai kapanpun, saya setuju kalau kita harus jadi orang tua yang baik.

    Dan jika ada diantara teman2 yg dulu mendapatkan didikan yg negatif dari orang tua, mari kita balas dengan "Air Susu". Alhamdulillah aku bisa menghancurkan Block Mental dan trauma yg ditanamkan oleh orang tuaku. Dulu aku yang dianggap sebagai anak binatang bahkan anak syetan menurut mereka, sempat menhancurkan hidupku hingga usia 18 th. Allah Maha Pengasih, dan aku tidak dendam pada orang tuaku dan anak-anak kami besarkan dalam kasih sayang.

    Jangan menyalahkan orang tua kita sobat, jadilah sahabatku, silakan sharing2 sama aku dgn cara ketik: CURHAT, kirim SMS ke: 0823 3100 8817 / 0857 1344 8745.

    Kak Mad (Penemu Metode Subaca) : www.metodebelajarmembaca.com/reg=admin

    ReplyDelete
  45. ceritanya sangat menyentuh hati.

    salam sejahtra dari pusat Jilbab Modern

    ReplyDelete
  46. adik kelasku waktu smp.... anak seorang dokter yang rumahnya fi sebelah smp 1 banyudono boyolali... pernah naksir

    ReplyDelete
  47. Makasih sharingnya mba. Membuat saya bersyukur memiliki ibu saya yang berhati lembut, sabar dan hampir tidak pernah marah. Seorang ibu rumah tangga yang pandai memasak, menjahit dan mengurus rumah.
    Ingin saya mendidik anak seperti beliau ...

    ReplyDelete